Orang-orang yang selalu was-was itu berkata, “Kami melakukan hal itu karena kami berhati-hati dalam urusan agama kami, serta untuk mengamalkan sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, ‘Tinggalkan apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu’.” (Diriwayatkan At-Tirmidzi, Nasa’i, Ahmad dari Al-Hasan bin Ali dengan sanad shahih). Dan sabda beliau, “Siapa yang menjaga syubhat maka dia telah membebaskan dirinya (dari tuduhan) dalam hal agama dan kehormatannya.” (Diriwayatkan Al-Bukhari, Muslim dari Nu’man bin Basyir).

Dan sabda beliau, “Dosa adalah apa yang terdetik (sebagai dosa) dalam hatimu.” (Diriwayatkan Muslim dari An-Nuwas bin Sam’an).

Dan sebagian salaf> berkata, “Dosa adalah hawaz hati.” 1)

Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah menemukan sebuah kurma, lalu beliau bersabda,

“Sungguh seandainya aku tidak takut ia dari shadaqah, tentu aku memakannya.” (Diriwayatkan Al-Bukhari, Muslim dari Anas).

Bukankah Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak memakannya karena kehati-hatian? Masalah ini masih panjang untuk diikuti.

Berhati-hati sesungguhnya tidak diingkari oleh syariat, meskipun kalian menamakannya sebagai keragu-raguan. 2) Bahkan Abdullah bin Umar membasuh hingga ke dalam biji dua matanya sampai beliau buta. 3) Dan jika Abu Hurairah berwudhu, beliau membasuh hingga ke lengan, dan bila membasuh kedua kakinya beliau membasuh hingga kedua betisnya.

Dengan demikian berarti kami berhati-hati untuk diri kami, kami mengambil sesuatu yang yakin dan meninggalkan sesuatu yang meragukan kepada yang tidak meragukan, kami meninggalkan yang meragukan kepada sesuatu yang yakin dan maklum, kami menjauhi hal-hal yang menyerupai, maka berarti kami tidak keluar dari syariat, juga tidak masuk ke dalam bid’ah. Bukankah hal ini lebih baik daripada meremehkan dan menganggap mudah? Sehingga seseorang tak lagi mempedulikan dengan agamanya, tidak berhati-hati dengannya, malahan menggampangkan setiap perkara dan senantiasa bersikap demikian, sehingga tak mempedulikan bagaimana ia berwudhu? Di tempat mana ia shalat, tidak pula mempedulikan apa yang mengenai sarung dan pakaiannya, tidak menanyakan tentang janjinya, bahkan pura-pura lupa, dan senantiasa berbaik sangka, ia meremehkan agamanya, tidak mempedulikan hal-hal yang ia ragukan, dan menjadikan segala sesuatu ada dalam kesucian, padahal ia adalah najis yang paling keji, ia masuk dengan keragu-raguan dan keluar dengan keragu-raguan. Mana bukti bahwa ia begitu teliti dan sungguh-sungguh dalam hal apa yang diperintahkan, sehingga sama sekali tidak*menguranginya? Adapun yang ini, jika ia menambah lebih dari yang diperintahkan maka maksudnya adalah penambahan untuk menyempurnakan apa yang diperintahkan, dan tidak kurang sesuatu pun daripadanya.

Mereka juga berkata, “Inti dari apa yang mereka ingkari dari kami adalah karena kami berhati-hati dalam mengerjakan perintah dan berhati-hati dalam menjauhi larangan. Dan itu tentu lebih baik akibatnya daripada menggampangkan dalam dua urusan tersebut. Sebab hal itu biasanya menyebabkan kekurangan dari yang diwajibkan, dan tergelincir pada yang diharamkan.

Jika kami timbang antara kerusakan hal di atas dengan kerusakan karena was-was maka kerusakan karena was-was tentu lebih ringan. Ini jika kami membantu kalian dalam memberinya istilah was-was, padahal kami sendiri menamainya dengan kehati-hatian (ihtiyathan). Maka tidaklah kalian lebih berbahagia daripada kami dalam hal Sunnah, justru kami senantiasa mendengungkan Sunnah tersebut, dan penyempurnaannya jualah yang kami kehendaki!”

Ighatsatul Lahfan – Ibnul Qoyyim Al Jauziyah

1) Maksudnya, segala sesuatu yang tersimpan dalam hati, dan ditakutkan berupa maksiat yang dilakukan hamba.
2) Demikianlah syubhat mereka.
3) Lihat Sunan Al-Baihaqi (1/177) danMushannaf Abdurrazak (991)