Berkata Syaikh Muhadits (ahli hadits) Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah: ”Di kalangan ahli ilmu dan para penuntut ilmu ini telah masyhur bahwa hadits dla’if (lemah) boleh diamalkan dalam fadlailul ‘amal (keutamaan amal). Mereka menyangka bahwa perkara ini tidak diperselisihkan. Bagaimana tidak, Imam Nawawi rahimahullah menyatakan dalam berbagai kitab beliau bahwa hal ini telah disepakati. (Seperti dalam kitab Arba’in Nawawi, pent.) Tetapi pernyataan beliau itu terbantah karena perselisihan dalam hal ini ma’ruf. Sebagian besar para muhaqiq (peneliti) berpendapat bahwa hadits dla’if tidak boleh diamalkan secara mutlak, baik dalam perkara-perkara hukum maupun keutamaan-keutamaan.
Syaikh Al-Qasimi rahimahullah dalam kitab Qawaid At-Tahdits, hal: 94 mengatakan bahwa pendapat tersebut diceritakan oleh Ibnu Sayyidin Nas dalam ‘Uyunul Atsar dari Yahya bin Ma’in dan Fathul Mughits beliau menyandarkannya kepada Abu Bakr bin ‘Arabi. Pendapat ini juga merupakan pendapat Bukhari, Muslim dan Ibnu Hajm.
Saya (Syaikh Al-Albani) katakan bahwa inilah yang benar menurutku, tidak ada keraguan padanya karena bebarapa perkara;pertama: Hadits dla’if hanya mendatangkan sangkaan yang salah (dzanul marjuh). Tidak boleh beramal dengannya berdasarkan kesepakatan. Barangsiapa mengecualikan boleh beramal dengan hadits dla’if dalam keutamaan amal, hendaknya dia mendatangkan bukti, sungguh sangat jauh!. Kedua: Yang aku pahami dari ucapan mereka tentang keutamaan amal yaitu amal-amal yang telah disyari’atkan berdasarkan hadits shahih, kemudian ada hadits lemah yang menyertainya yang menyebutkan pahala khusus bagi orang yang mengamalkannya. Maka hadits dla’if dalam keadaan semacam ini boleh diamalkan dalam keutamaan amal, karena hal itu bukan pensyari’atan amal itu tetapi semata-mata sebagai keterangan tentang pahala khusus yang diharapkan oleh pelakunya. Oleh karena itu ucapan sebagaian ulama dimasukkan seperti ini. Seperti Syaikh Ali Al-Qari rahimahullah dalam Al-Mirqah 2/381 mengatakan bahwa hadits lemah diamalkan dalam perkara keutamaan amal walaupun tidak didukung secara ijma’ sebagaimana keterangan Imam An-Nawawi, yaitu pada amal yang shahih berdasarkan Al-Kitab dan As-Sunnah.
Maka dengan dasar inilah maka beramal dengan hadits dla’if diperbolehkan jika telah adanya hadits shahih yang menunjukkan disyari’atkannya amal itu. Akan tetapi kebanyakan orang yang berpendapat seperti itu tidak dimaksudkan makna seperti itu. Buktinya kita menyaksikan mereka beramal dengan hadits-hadits dla’if yang tidak terkandung dalam hadits-hadits shahih, seperti Imam An-Nawawi dan yang mengikutinya menganggap sunnah menjawab ucapan orang yang mengumandangkan iqamah ketika mengucapkan dua kalimat syahadat (=qadqa matis shalah, qadqa matis shalah) dengan ucapan “aqamahala wa adamaha” (=semoga Allah menegakkannya dan melazimkannya), padahal hadits tentang masalah ini adalah dha’if . [Kelemahan hadits ini dapat dilihat pada; Irwa’ul Ghalil 241. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah; Ilmu Ushulil Bida’, hal: 157. Syaikh ‘Ali Hasan bin Adul Hamid.]
Amal ini tidak ditetapkan pensyari’atannya kecuali pada hadits dla’if tersebut. Meskipun demikian mereka menganggap hal itu merupakan suatu sunnah. Padahal perkara sunnah adalah salah satu hukum diantara kelima hukum (yakni: wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram) yang harus ditetapkan berdasarkan dalil.
Betapa banyak perkara-perkara yang mereka anggap disyari’atkan dan disunnahkan bagi manusia hanya didasari dengan hadits-hadits lemah yang tidak ada asal pensyari’atannya dalam hadits shahih. Akan tetapi disini tidak mungkin untuk mencantumkan sebagai contoh, cukuplah salah satu contoh yang telah aku sebutkan.
Adapun yang terpenting disini adalah hendaklah orang-orang yang menyelisihi hal ini mengetahui bahwa beramal dengan hadits dla’if dalam perkara keutamaan amal tidak mutlak menurut orang-orang yang berpendapat dengannya. Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata dalam Tabyanul Ujab, hal: 3-4 bahwa para ahli ilmu telah bermudah-mudah dalam membawakan hadits-hadits tentang keutamaan amal walaupun memiliki kelemahan selama tidak maudlu’ (=palsu). Seharusnya hal ini diberi syarat yaitu orang yang beramal dengannya menyakini bahwa hadits itu lemah dan tidak memasyhurkannya sehingga orang tidak beramal dengan hadits dla’if dan mensyari’atkan apa yang tidak disyari’atkan atau sebagian orang-orang jahil (=bodoh) menyangka bahwa hadits itu adalah shahih.
Hal ini juga ditegaskan oleh Al-Ustadz Abu Muhammad bin Abdus Salam dan lain- lain.
Hendaknya setiap orang khawatir jika termasuk dalam ancaman Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam:
“Barangsiapa menceritakan dariku satu hadits yang dianggap hadits itu dusta, maka dia termasuk seorang pendusta” [Untuk lebih jelasnya lihat permasalahn ini pada kitab Syarh Shahih Muslim, juz: 1, bagian muqadimah. Imam An-Nawawi Ad- Damsiqi rahimahullah.]
Maka bagaimana orang yang mengamalkannya?!. Tidak ada perbedaan antara mengamalkan suatu hadits dalam perkara hukum atau dalam perkara keutamaan amal, sebab semuanya adalah syari’at.
Inilah tiga syarat penting diperbolehkannya beramal dengan hadits-hadits hla’if dalam keutamaan amal;
– Hadits itu tidak maudlu’ (=palsu).
– Orang yang mengamalkannya mengetahui bahwa hadits itu adalah dha’if.
– Tidak memasyhurkan untuk beramal dengannya.
Akan tetapi sangat disayangkan kita menyaksikan kebanyakan ulama lebih-lebih orang awam meremehkan syarat-syarat ini. Mereka mengamalkan suatu hadits tanpa mengetahui kelemahannya, mereka tidak mengetahui apakah kelemahannya ringan atau sangat parah sehingga (hadits) tersebut tidak boleh diamalkan. Kemudian mereka memasyhurkannya sebagaimana halnya beramal dengan hadits shahih!. Oleh karena itu banyak ibadah-ibadah dikalangan kaum Muslimin yang tidak shahih dan memalingkan mereka dari ibadah-ibadah yang shahih yang diriwayatkan dengan sanad-sanad (=jalan, pent) yang shahih.
Kemudian syarat-syarat tersebut menguatkan pendapat kami bahwa sebagian besar ulama tidak menginginkan makna yang kami anggap kuat tadi, sebab satupun diantara syarat-syarat itu tidak diterapkan sebagaimana yang tanpak.
Menurutku (Syaikh Al-Albani), Al-Hafidz Ibnu Hajar cenderung kepada tidak boleh beramal dengan hadits dla’if berdasarkan ucapan beliau yang telah lewat bahwa tidak ada perbedaan antara mengamalkan suatu hadits dalam perkara hukum atau dalam keutamaan amal sebab semuanya adalah syari’at.
Inilah yang haq, karena hadits dla’if yang tidak ada penguatnya kemungkinan adalah maudlu’ (=palsu), bahkan umumnya palsu dan mungkar. Hal ini ditegaskan oleh sebagian ulama. Orang yang membawakan hadits dla’if termasuk dalam ucapan Nabi Shalallahu ‘alaihi wa salam:”…yang dianggap hadits itu dusta”, yaitu dengan menampakkan demikian. Oleh karena itu Al-Hafidz menambahkan dengan ucapannya:”Maka bagaimana dengan orang yang mengamalkannya”.
Hal ini dikuatkan dengan perkataan Ibnu Hibban bahwa setiap orang yang ragu terhadap apa yang dia riwayatkan, shahih atau tidak shahih, maka dia termasuk dalam hadits ini. Dan kita katakan seperti perkataan Al-Hafidz (Ibnu Hajar):”Maka bagaimanakah dengan orang yang mengamalkannya”.
Inilah penjelas dari maksud ucapan Al-Hafidz Ibnu Hajar tersebut. Adapun jika ucapan beliau dimaksudkan kepada larangan memakai hadits maudlu’ (=palsu) dan tidak ada perbedaan antara perkara hukum dan keutamaan adalah sangat jauh dari konteks ucapan Al-Hafidz, sebab ucapan beliau adalah dalam pembahasan hadits dla’if, bukan maudlu’ sebagaimana hal itu tidak tersembunyi.
Apa yang kami sebutkan tidak menafi’kan (=meniadakan) bahwa Al-Hafidz (Ibnu Hajar) menyebutkan syarat-syarat itu untuk mengamalkan hadits dla’if. Sebab kita katakan bahwa Al-Hafidz menyebutkan perkataan itu kepada orang-orang yang membolehkan memakai hadits dla’if dalam perkara keutamaan selama tidak maudlu’ (=palsu). Seakan-akan beliau berkata kepada mereka:”Jika kalian berpendapat demikian, maka seharusnya kalian menerapkan syarat-syarat ini”.
Al-Hafidz tidaklah menyatakan dengan tegas bahwa dia menyetujui mereka dalam membolehkan (beramal dengan hadits-hadits yang dla’if) dengan syarat-syarat itu. Bahkan diakhir ucapan beliau menegaskan sebaliknya seperti yang telah kami terangkan.
Kesimpulannya, bahwa beramal dengan hadits dla’if dalam perkara keutamaan amal tidak diperbolehkan sebab menyelisihi hukum asal dan tidak ada dalilnya. Orang yang membolehkannya harus memperhatikan syarat-syarat itu ketika mengamalkan hadits dla’if, Wallahu Muwaffiq. Demikian perkataan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah.
[Tamamul Minah Fii Ta’liq Fiqh Sunnah, hal: 34-38. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah. Dinukil dari majalah Salafy edisi: XXIII/Ramadlan/1418H/1996, hal: 23-25.]
Juli 12, 2012 at 10:16 am
mengenai ilmu hadits saya tidak terlalu banyak faham, karena masih awam, terikma kasih sudah berbagi…
Juli 27, 2012 at 1:03 am
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata dalam Tabyanul Ujab, hal: 3-4 bahwa para ahli ilmu telah bermudah-mudah dalam membawakan hadits-hadits tentang keutamaan amal walaupun memiliki kelemahan selama tidak maudlu’ (=palsu).
al albani pakar hadits baru dengan ilmu hadits baru: “Seharusnya hal ini diberi syarat yaitu orang yang beramal dengannya menyakini bahwa hadits itu lemah dan tidak memasyhurkannya sehingga orang tidak beramal dengan hadits dla’if dan mensyari’atkan apa yang tidak disyari’atkan atau sebagian orang-orang jahil (=bodoh) menyangka bahwa hadits itu adalah shahih.”
lihat bagaimana al albani bisa tiba-tiba MENAMBAH SYARAT BARU! dalam ilmu hadits… luar biasa
ini bukti bahwa ia al albani tidak bersanad. ilmunya ia peroleh secara otodidak. ia belajar sendiri dan membuat ilmu hadits sendiri. ia sejauh pengetahuan kami tidak memperoleh pendidikan formal kecuali MADRASAH IBTIDAIYAH. andaipun ia kemudian belajar kepada beberapa guru, kita lihat ini buktinya bahwa ia membuat ilmu hadits sendiri… membuat syarat sendiri…
ingat membuat aturan sendiri dalam agama yang bertentangan syariat adalah bidah yang sesat
Juli 30, 2012 at 11:36 am
Siapa bilang Syaikh Albani membuat aturan sendiri lihat fatwa dibawah ini
Hukum Beramal dengan Hadits Dhoif (Lemah)
Asy Syaikh DR. Abdul Karim Al Khudhair-hafizhahullahu-
(alih bahasa : Abu Shafwan Al Munawy)
Asy Syaikh Al Muhaddits Al Faqih Dr. AbdulKarim bin Abdullah Al Khudhair –hafidzahullahu ta’ala- (Anggota Haiah Kibar Ulama dan Komite Tetap untuk Fatwa KSA) ditanya :
“Apa hukum berdalil dan beramal dengan hadits dhoif?”
Beliau menjawab :
Segala puji hanya bagi Allah Azza wa Jalla, Adapun hukum beramal dengan hadits dhoif maka perlu perincian sebagai berikut :
1. Beramal dengan hadits dhoif dalam masalah aqidah hukumnya tidak boleh berdasarkan ijma’ (kesepakatan ulama Islam).
2. Beramal dengan hadits dhoif dalam masalah hukum-hukum fiqh; jumhur ulama berpendapat tidak membolehkannya.
3. Beramal dengannya dalam masalah fadhail (keutamaan amal), tafsir, dan sirah Nabi; jumhur ulama berpendapat bolehnya berdalil dengan hadits dhoif pada masalah-masalah ini dengan beberapa syarat dan batasan :
– Sisi dhoif (cacat), haditsnya tidak terlalu lemah.
– Hadits dhoif tersebut memiliki dasar hukum dalam syariat.
– Ketika beramal dengannya, tidak boleh meyakini bahwa hadits itu berasal dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam- akan tetapi ia hendaknya mengamalkannya hanya sebagai sikap kehati-hatian.
Imam Nawawi dan Mula ‘Aly Qory –rahimahumallah- telah menukilkan tentang ijma’nya para ulama atas bolehnya beramal dengan hadits dhoif dalam fadhoil ‘amal, akan tetapi ini tidak benar karena sebagian para ulama menyelisihi hal tersebut diantara mereka adalah Abu Hatim, Abu Zur’ah, Ibnul ‘Araby, Asy-Syaukani, dan Al Albaniy –rahimahumullah- dan pendapat inilah (tidak bolehnya beramal dengan hadis dhoif dalam fadhoil ‘amal) yang tersirat dari ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qoyim –rahomahumallah- serta pendapat ini juga telah diisyaratkan oleh Imam Al-Bukhari dan Muslim –rahimahumallah-. Oleh karena itu berdasarkan pendapat ini maka tidak boleh beramal dengan hadits dhoif dalam semua permasalahan agama tanpa terkecuali, dan boleh disebutkan namun hanya sebagai pelajaran. Ibnul Qoyyim juga mengisyaratkan bahwa hadits dhoif mungkin bisa dijadikan sebagai dalil untuk menguatkan salah satu dari dua pendapat yang sama-sama kuat. Namun pendapat yang benar adalah bahwa Hadis dhoif tidak boleh diamalkan/dijadikan dalil selama tidak adanya keyakinan akan adanya hadits lain yang menguatkannya sehingga dapat mencapai derajat hadits hasan lighoirihi. Wabillahi At Taufiq
NB : Perhatikan hadits berikut ini
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّداً فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ.
“Artinya : Barangsiapa berdusta atas (nama)ku dengan sengaja, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya dari Neraka.”
Hadits Dha’if lebih mendekati kedustaan daripada benarnya, kalo ente mau jujur lebih selamat kalo hadits dha’if itu tidak diamalkan
September 5, 2012 at 6:54 am
hadits adalah manifestasi dari al Qur’an shg org hrs hati2 mengamalkannya… kalo ga jelas sanadnya lebih baik tinggalkan…