Saudaraku…

Manusia dianugerahi akal dan perasaan oleh Allah. Akal dan perasaan itu dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Namun, akal dan perasaan itu harus tunduk kepada dalil-dalil al-Quran dan hadits Nabi shollallahu alaihi wasallam yang shahih. Tidak boleh akal atau perasaan dikedepankan dalam menjalankan syariat Allah.

Jika telah ada dalil yang jelas dalam al-Quran dan hadits Nabi, maka tundukkan akal dan arahkan perasaan untuk patuh dan menurut kepada Allah dan RasulNya. Itu adalah sikap orang beriman dan dengan itu mereka mendapat keberuntungan.

إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Hanyalah ucapan orang beriman itu jika diajak untuk berhukum dengan (aturan) Allah dan Rasul-Nya mereka berkata: kami mendengar dan kami taat. Mereka itu adalah orang-orang yang beruntung (Q.S anNuur ayat 51)

Setelah jelas dalilnya, orang beriman tidak akan mempertanyakan: Mengapa Allah melarang ini? Mengapa Rasul memerintahkan ini? Mengapa Allah tidak melarang yang ini saja dan memerintahkan yang ini saja? Bukankah ini baik, tapi mengapa Nabi melarangnya?

Itu tidak ada dalam kamus orang beriman. Kecuali bagi orang yang imannya lemah, pergaulannya dengan orang-orang tidak beriman sehingga terpengaruh, atau kaum munafik yang berbaju Islam, pertanyaan ketidakpuasan itu akan muncul pada dirinya.

Kalaupun dibahas, yang dibahas adalah hikmah di balik perintah dan larangan itu, dengan tetap meyakini seyakin-yakinnya bahwa setiap perintah dan larangan Allah pasti mengandung hikmah. Baik manusia mengetahui maupun tidak. Kalaupun manusia mengkaji hikmah di balik itu, ia tidak akan bisa menyingkap hikmah-hikmah lain yang sedemikian banyak yang hanya Allah saja yang mengetahuinya.

Kebutuhan orang beriman adalah untuk mengetahui: Apa yang Allah perintahkan kepada kami? Apa yang Allah larang kepada kami? Bagaimana bimbingan Nabi dalam kondisi semacam ini? Kemudian mereka berusaha berbuat sesuai ilmu itu.

Itulah yang ditanyakan para Sahabat Nabi. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada Nabi adalah pertanyaan dengan niat untuk beramal. Bukan pertanyaannya orang Yahudi yang juga sering tanya kepada Nabi dengan tujuan untuk mengetes atau menguji. Kalau sudah tahu, cukup diketahui, tidak diamalkan. Karena itu mereka mendapat kemurkaan Allah.

Setelah jelas dalil bagi para Sahabat Nabi, mereka bersegera beramal dengan ilmunya itu. Mereka tidak akan mengedepankan akal dan perasaan mereka untuk menolak dalil yang sudah jelas.

Umar bin al-Khotthob radhiyallahu anhu pernah berkata kepada batu hitam (hajar aswad): “Sungguh aku tahu engkau hanyalah batu yang tidak bisa memberi manfaat dan menolak bahaya. Kalaulah aku tidak melihat Nabi shollallahu alaihi wasallam menciummu, niscaya aku tidak akan menciummu (H.R al-Bukhari dan Muslim)

Umar berhasil mengalahkan akal dan perasaannya untuk menjadi pengikut Nabi yang sebenarnya. Padahal secara akal, untuk apa sih, batu kok dicium, apa manfaatnya apa tujuannya. Secara perasaan juga kadang kurang pas. Untuk apa cium batu.

Tapi karena sudah jelas dalilnya, maka Umar menjalankan itu. Dalilnya adalah Nabi pernah melakukannya. Cukup. Perbuatan Nabi adalah dalil. Ucapan Nabi adalah dalil.

‘Ali bin Abi Tholib radhiyallahu anhu juga mencontohkan kepada kita bagaimana menundukkan akal untuk ikut dalil. Beliau menyatakan:

لَوْ كَانَ الدِّينُ بِالرَّأْيِ لَكَانَ أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلَاهُ وَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمْسَحُ عَلَى ظَاهِرِ خُفَّيْهِ

Kalau seandainya agama itu patokannya dengan ra’yu (akal), niscaya bagian bawah khuf (sandal/ sepatu) lebih berhak diusap dibandingkan bagian atasnya. Sungguh aku telah melihat Rasulullah shollallahu alaihi wasallam mengusap bagian atas khufnya (riwayat Abu Dawud, dinyatakan sanadnya hasan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar)

Kalau seandainya patokan agama Islam bukan dalil, tapi dengan akal, niscaya mengusap khuf harusnya bagian bawahnya, bukan bagian atas. Karena bagian bawah lebih dominan terkena kotoran karena bersentuhan langsung dengan tanah. Sedangkan secara akal, tujuan mengusap khuf adalah untuk membersihkan. Namun karena dalil dari Nabi tidak demikian, maka akal ditundukkan harus patuh dan nurut mengikuti dalil. Mengusap khuf saat wudhu adalah pada bagian atasnya.

Perasaan juga tidak boleh dikedepankan dalam menjalankan Dien ini. Perasaan tidak enak, perasaan sungkan, perasaan takut, perasaan kasihan, dan sejenisnya, harus dikalahkan untuk menerapkan dalil.

Kalau sudah jelas terbukti bahwa seorang laki-laki atau wanita berzina dan mereka belum pernah menikah, sudah sampai berita kepada Waliyyul Amri (pemerintah muslim) dan ditegakkan hukum Islam kepada mereka dengan didera/ dicambuk 100 kali, maka jangan kedepankan perasaan: Waduh kasihan ya. Sebaiknya jangan dihukum saja.

Jangan kedepankan perasaan dalam agama Allah:

الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِئَةَ جَلْدَةٍ وَلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ 

Wanita pezina dan laki-laki pezina (yang belum pernah menikah), cambuklah masing-masing dari keduanya 100 kali. Jangan timbul belas kasihan kepada keduanya dalam agama Allah. Jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan hendaknya hukuman tersebut disaksikan oleh sekelompok orang beriman (Q.S anNuur ayat 2)

Kalau sudah jelas dalilnya bahwa itu haram, bahwa itu bid’ah, bahwa itu syirik, maka buang perasaan-perasaan yang akan menghambat kita untuk menghindarinya.

“Iya memang ini bid’ah dan sudah jelas, tapi bagaimana ya, apa kata orang nanti kalau saya tidak ikut”.

“Iya, memang kelompok itu sesat. Saya tahu sendiri kesesatannya. Tapi bagaimana ya. Saya ndak enak kalau harus berpisah dengan teman-teman yang sudah lama akrab dengan saya dan banyak berbuat baik pada saya”.

Itu beberapa contoh, perasaan lebih dominan dan akan mengalahkan dalil yang sudah diketahuinya. Bukannya perasaan ditundukkan untuk ikut dalil, tapi dalil dipaksa untuk memaklumi perasaannya.

Abu Tholib dalam hatinya sudah sangat yakin bahwa ajaran keponakannya, Nabi Muhammad shollallahu alaihi wasallam adalah benar, tapi karena perasaan ‘nggak enak omongan orang’ akhirnya ia tetap berada dalam kekafiran. Ia takut, “apa kata orang-orang Quraisy nanti kalau saya ikut ajaran keponakan saya dan meninggalkan agama ayah saya”. Begitu seterusnya, hingga saat akan meninggal dunia Abu Tholib ditalqin, didikte untuk membaca Laa Ilaaha Illallah oleh Nabi, tapi karena pada saat yang bersamaan di sisi dia ada Abu Jahl dan Abdullah bin Abi Umayyah yang terus mengatakan: Apakah engkau benci dengan agama Abdul Muthholib?!

Abu Tholib sungkan dan nggak enak, mengedepankan perasaannya, hingga akhirnya meninggal dalam kekafiran. Padahal sudah jelas-jelas ia yakin Laa Ilaaha Illallah itu benar. Tapi karena perasaan nggak enak, takut omongan orang, maka ia meninggal dalam keadaan kafir. Subhaanallah, sungguh kerugian yang nyata akibat mengedepankan perasaan dalam beragama.

Semoga Allah Subhaanahu Wa Ta’ala senantiasa memberikan taufiq kepada kita dan seluruh kaum muslimin untuk mampu menundukkan akal dan perasaan kita agar patuh kepada al-Quran dan hadits Nabi shollallahu alaihi wasallam.

(Abu Utsman Kharisman)

Sumber : WA al-I’tishom